KRITIK
RADEN
SALEH DAN SEJUMLAH IRONI
Oleh
Suwarno Wisetrotomo
Sejumlah
tokoh mengupas tuntas tentang Raden Saleh dari berbagai aspek(sejarah
kehidupannya, eksistensinya sebagai pelukis, dan karyanya, petualangannya di
Eropa). Mereka adalah Dr Werner Kraus (Jerman), Dr Peter Carey (London dan
Singapura), Dr Marie-Odette Scalliet(Leiden, Belanda) dan Helene Feillard
(kandidat PhD, Perancis) mengadakan forum seminar di rumah Raden Saleh, Cikini
Jakarta dalam peringatan 40 tahun Institut Seni Jakarta (IKJ) pada tanggal
24-25 Juni 2010.
Dua Hal penting dalam forum yaitu analisis karya-karya RS
meliputi beragam tema/jenis (potret, panorama/binatang, dan politik). Pada
seminar ini belum terungkap dengan baik dan kritis perihal situasi mental,
intelektual, dan sosial seorang RS. Poin kedua adalah soal agenda aksi yang
belum terumuskan dan direkomendasikan dengan baik serta terang. Aksi ini
penting karena dapat menumbuhkan apresiasi dan kebanggaan sebagai bangsa.
RS adalah kisah sukses cemerlang yang pernah dimiliki
bangsa Indonesia pada sejarah awal lahirnya Indonesia. Dibalik
kecermelangan terdapat ironi dengan
tajam dan menusuk. Bekas rumah tinggal RS yang tergolong istimewa pada zamannya
kini telah kusam penuh bercak, atap plafon jamuran, sebagian mengelupas dan
jebol, tata cahaya seadanya dan sungguh jauh dari pantas. Kondisi ini
mencerminkan kondisi mentalitas dan intelektualitas kita sebagai bangsa yang
belum sepenuhnya memiliki kesadaran untuk mengghargai sejarah. Banyak asset
yang bisa didayakan sebagai penyedap harga diri bangsa namun tidak dikelola
dengan baik. Bangsa ini menunjukkan gejala penyakit kronis berupa ketidaktahuan
dan ketidakpedulian pada kekayaan budaya/kekayaan kesenian yang ternyata
dipimpin langsung oleh pemerintah.
Jika “proyek Raden Saleh” berhasil mendunia, menjadi
sangat mungkin memiliki inspirasi dan model. Artinya di tengah gempuran
peristiwa sosial, ekonomi, politik, budaya, hokum di Negara ini yang sarat
dengan perolaku porno, maka upaya memaknai sejarah semacam itu sungguh akan
membantu merebut kembali kisah cemerlang (minus ironi) yang akan berujung pada
kepemilikan martabat sebagai bangsa.
PELUKIS
EMIRIA SOENASSA MEMBAYANGKAN NUANSA
Oleh
Heidi Arbuckle
Emilia
mengawali kariernya sebagai pelukis pada usia 46 tahun, senasa hidupnya juga
dikenal sebagai revolusioner, niagawati, filantropis, dan mengklaim dirinya
sebagai bangsawan yaitu Ratu dari kesultanan Tidore. Ia juga dikenal sebagai
perintis dikemukakan dalam majalah Perintis tahun 1951. Pameran tunggal Emiria
diselenggarakan di Bentara Bidaya Jakarta pada 10-18 Desember 2010 dengan judul
“Emiria, Sang Perintis”.
Sebagai
pelukis pribumi, ia tidak pernahh belajar melukis secara akademis. Dorongan
melukis pertama berasal dari sahabat dekatnya, dari belanda. Lukisan pertama
Emiria berjudul Telaga Warna tahun 1940. Ciri khas Emiria berada pada usahanya
untuk memperbarui seni primitif atau seni Indonesia yang kuno ke dalam seni
lukis modern pada zamannya. Karnya bisa digambarkan sebagai gabungan (fusion)
yang dinamis antara seni adat (indigeneus art) dan seni rupa modern
neo-primitif. Emilia juga menggunakan warna secara primitive dan sering
mengabaikan perspektif serta aspek pencahayaan. Subjek lukisannya adalah
penggambaran alam raya dan berbagai kelompok etnis Indonesia, bentuk, suasana,
dan warnanya banyak dipengaruhi pelukis-pelukis modern Eropa. Contoh lukisannya
adalah Orang Irian dengan Boeroeng Tjenderawasih (1948).
Dari
lukisan-lukisannya, kita bisa membaca sikap politis Emiria dan perbedaan
“nasionalisme”nya dibandingkan dengan narasi besar nasionalisme yang diusung
oleh kebanyakan pelukis di zamannya. Penelusuran Emiria terhadap nuansa etnik
dari Indonesia bagian timur dan suku-suku pribuminya adalah apa yang
memisahkannya dari kebanyakan pelukis pria pada masa itu, seperti yang tampak
dalam lukisan “ Pemanah Papua” (1941) dan Penganten Dajak” serta “Bahaya
Belakang Kembang Terate”. Pada saat para pelukis di kota-kota besar
membayangkan sebuah Negara baru dan para penduduknya yang terpusat, Emiria
membayangkan bahwa hal itu justru tersebar di wilayah-wilayah pinggir nusa
Indonesia yang beragam seperti hutan-hutan yang (akunya) telah ia jelajahi
mulai dari Humboldhaai (Jayapura) sampai sabang.