Rabu, 26 Desember 2012

die and masdha

iseng-iseng lama gag gambar wajah...pemanasan sebelum melukis...kakakakakkakak
i love you @frisdha stickingpad

Sabtu, 11 Agustus 2012

I'm grave as deep as the ocean

I'm grave as deep as the ocean, 2011
sebuahh keinginan untuk menikmati irama pukulan perkusi, yang terpaksa terpendam sedalam lautannnn.....
tak semudah yang ku bayangkan, tak seindah khayalanku bernyanyi, tak semudah mulut ku berbicara...
lingkaran habitat memang berpengaruh bagi kekuatan jiwaaaa...... aku tak seperti lingkaran habitat ini... lingkaran yang seperti robot..  suka aturan yang begitu rumitttt.......
aku butuh kebebasan .... aku tak suka cara mereka..... mereka yang suka dengan aturan aturan anehhhh..... bagi ku semua itu anehhhhh...dan anehhhh...

Rabu, 18 Juli 2012

lukisan "why 1.3?"

                                                            dhian pertiwi,"why 1.3?"2012


mungkin aku tak bisa menceritakan isi hatiku dengan mulut ku ini,,,
aku hanya bisa memendam perasaan kuu selama ini.....
lewat sebuah gambar aku akan mencoba menuangkan isi hati ku,,
walo tak kan pernah sampai kepada seseorang yang aku sayangiiiii,
setidaknya aku bisa meluapkannnnn semuaaaaaaaaaanyaaaaa ,,,,,,,


Selasa, 05 Juni 2012

PELUKIS EMIRIA SOENASSA MEMBAYANGKAN NUANSA Oleh Heidi Arbuckle


KRITIK
RADEN SALEH DAN SEJUMLAH IRONI
Oleh Suwarno Wisetrotomo

Sejumlah tokoh mengupas tuntas tentang Raden Saleh dari berbagai aspek(sejarah kehidupannya, eksistensinya sebagai pelukis, dan karyanya, petualangannya di Eropa). Mereka adalah Dr Werner Kraus (Jerman), Dr Peter Carey (London dan Singapura), Dr Marie-Odette Scalliet(Leiden, Belanda) dan Helene Feillard (kandidat PhD, Perancis) mengadakan forum seminar di rumah Raden Saleh, Cikini Jakarta dalam peringatan 40 tahun Institut Seni Jakarta (IKJ) pada tanggal 24-25 Juni 2010.
            Dua Hal penting dalam forum yaitu analisis karya-karya RS meliputi beragam tema/jenis (potret, panorama/binatang, dan politik). Pada seminar ini belum terungkap dengan baik dan kritis perihal situasi mental, intelektual, dan sosial seorang RS. Poin kedua adalah soal agenda aksi yang belum terumuskan dan direkomendasikan dengan baik serta terang. Aksi ini penting karena dapat menumbuhkan apresiasi dan kebanggaan sebagai bangsa.
            RS adalah kisah sukses cemerlang yang pernah dimiliki bangsa Indonesia pada sejarah awal lahirnya Indonesia. Dibalik kecermelangan  terdapat ironi dengan tajam dan menusuk. Bekas rumah tinggal RS yang tergolong istimewa pada zamannya kini telah kusam penuh bercak, atap plafon jamuran, sebagian mengelupas dan jebol, tata cahaya seadanya dan sungguh jauh dari pantas. Kondisi ini mencerminkan kondisi mentalitas dan intelektualitas kita sebagai bangsa yang belum sepenuhnya memiliki kesadaran untuk mengghargai sejarah. Banyak asset yang bisa didayakan sebagai penyedap harga diri bangsa namun tidak dikelola dengan baik. Bangsa ini menunjukkan gejala penyakit kronis berupa ketidaktahuan dan ketidakpedulian pada kekayaan budaya/kekayaan kesenian yang ternyata dipimpin langsung oleh pemerintah.
            Jika “proyek Raden Saleh” berhasil mendunia, menjadi sangat mungkin memiliki inspirasi dan model. Artinya di tengah gempuran peristiwa sosial, ekonomi, politik, budaya, hokum di Negara ini yang sarat dengan perolaku porno, maka upaya memaknai sejarah semacam itu sungguh akan membantu merebut kembali kisah cemerlang (minus ironi) yang akan berujung pada kepemilikan martabat sebagai bangsa.




PELUKIS EMIRIA SOENASSA MEMBAYANGKAN NUANSA
Oleh Heidi Arbuckle

Emilia mengawali kariernya sebagai pelukis pada usia 46 tahun, senasa hidupnya juga dikenal sebagai revolusioner, niagawati, filantropis, dan mengklaim dirinya sebagai bangsawan yaitu Ratu dari kesultanan Tidore. Ia juga dikenal sebagai perintis dikemukakan dalam majalah Perintis tahun 1951. Pameran tunggal Emiria diselenggarakan di Bentara Bidaya Jakarta pada 10-18 Desember 2010 dengan judul “Emiria, Sang Perintis”.
Sebagai pelukis pribumi, ia tidak pernahh belajar melukis secara akademis. Dorongan melukis pertama berasal dari sahabat dekatnya, dari belanda. Lukisan pertama Emiria berjudul Telaga Warna tahun 1940. Ciri khas Emiria berada pada usahanya untuk memperbarui seni primitif atau seni Indonesia yang kuno ke dalam seni lukis modern pada zamannya. Karnya bisa digambarkan sebagai gabungan (fusion) yang dinamis antara seni adat (indigeneus art) dan seni rupa modern neo-primitif. Emilia juga menggunakan warna secara primitive dan sering mengabaikan perspektif serta aspek pencahayaan. Subjek lukisannya adalah penggambaran alam raya dan berbagai kelompok etnis Indonesia, bentuk, suasana, dan warnanya banyak dipengaruhi pelukis-pelukis modern Eropa. Contoh lukisannya adalah Orang Irian dengan Boeroeng Tjenderawasih (1948).
Dari lukisan-lukisannya, kita bisa membaca sikap politis Emiria dan perbedaan “nasionalisme”nya dibandingkan dengan narasi besar nasionalisme yang diusung oleh kebanyakan pelukis di zamannya. Penelusuran Emiria terhadap nuansa etnik dari Indonesia bagian timur dan suku-suku pribuminya adalah apa yang memisahkannya dari kebanyakan pelukis pria pada masa itu, seperti yang tampak dalam lukisan “ Pemanah Papua” (1941) dan Penganten Dajak” serta “Bahaya Belakang Kembang Terate”. Pada saat para pelukis di kota-kota besar membayangkan sebuah Negara baru dan para penduduknya yang terpusat, Emiria membayangkan bahwa hal itu justru tersebar di wilayah-wilayah pinggir nusa Indonesia yang beragam seperti hutan-hutan yang (akunya) telah ia jelajahi mulai dari Humboldhaai (Jayapura) sampai sabang.